AKARBERITA. com, Mamuju – Dari catatan Council of Foreign Relations, Indonesia adalah satu dari sepuluh negara di dunia dan menempati urutan ke tujuh angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia dan tertinggi kedua di ASEAN, setelah Kamboja.
Dan Sulawesi Barat (Sulbar) menjadi provinsi yang menempati urutan pertama di Indonesia tingkat pernikahan anak, dengan nilai rata-rata perkawinan anak 37 % berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, diperkuat pendataan keluarga terkait usia kawin pertama di Sulbar tahun 2017, yang menyebutkan jika perempuan yang menikah di bawah usia 21 tahun mencapai 114.741 orang dan laki-laki yang menikah di bawah usia 25 tahun mencapai 94.567 orang.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Yohana Susana Yembise mengatakan, kondisi pernikahan anak yang terjadi di Sulbar dinilai sebagai kedaruratan bagi negara. “Dampaknya tidak hanya bagi anak, tapi orang tua, keluarga, masyarakat dan pada akhirnya ikut berimbas pada negara,” jelas Yohana disela kegiatan Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Mamuju.
Yohana menegaskan, perkawinan anak adalah pelanggaran hak-hak anak perempuan dan anak laki-laki, karena pernikahan dini berimbas pada rentannya para anak kehilangan hak pendidikan, kesehatan, gizi, perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan tercabut dari kebahagiaan masa anak-anak.
Dikemukakan Yohana, dampak perkawinan anak sangat besar terhadap perempuan. Karena, katanya, perkawinan anak bagi pihak perempuan usia 10-14 tahun, beresiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan dibanding usia 20-24 tahun. “Dan secara global, kematian yang disebabkan oleh kehamilan terjadi pada anak perempuan usia 15-19 tahun,” ungkapnya.
Dan komitmen negara menghentikan praktek perkawinan anak, tambah Yohana, terus dilakukan sebagai bentuk menjamin perlindungan anak. Karena, katanya, negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi termasuk dari bebas dari praktek perkawinan anak.
Yohana berharap, melalui kegiatan Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak, bisa mendorong adanya payung kebijakan dalam pencegahan dan penghapusan terhadap praktek perkawinan anak. Karena, jelasnya, upaya yang dilakukan saat ini adalah mengubah pola fikir pengambil keputusan maupun masyarakat bahwa perkawinan anak sangat merugikan bagi.
Selain itu, Yohana juga menargetkan dilakukannya revisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. “Setiap manusia yang berumur di bawah 18 tahun adalah anak-anak, maka perempuan pada usia 16 tahun tersebut masih tergolong anak, maka kami ingin menaikkan batas usia perkawinan untuk perempuan menjadi 18 tahun, meskipun sebenarnya usia yang ideal bagi seorang untuk menikah adalah usia 21 tahun,” ujarnya.
(Yudha)