Peluang dan Ancaman di Tengah Kasus Kebocoran Data DPN
Oleh: Muh. Akbar Fhad Syahril, M.H.
Dosen Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Kota Parepare
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami transformasi signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sistem hukum agraria. Salah satu inovasi yang menonjol adalah penerapan sertipikat tanah elektronik atau “Sertipikat-El”. Inovasi ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan dalam administrasi pertanahan.
Namun, di tengah kemajuan ini, muncul kekhawatiran serius terkait keamanan data, terutama setelah terjadinya kebocoran data di Pusat Data Nasional (PDN) yang melibatkan ransomware. Artikel ini akan menganalisis implikasi hukum dan keamanan dari penerapan sertipikat tanah elektronik dalam konteks hukum agraria dan kebocoran data.
Penerapan sertipikat tanah elektronik memiliki beberapa keunggulan yang signifikan. Sertipikat elektronik mengurangi risiko kehilangan, pencurian, dan kerusakan fisik yang sering terjadi pada sertipikat tanah konvensional. Proses administrasi pertanahan menjadi lebih efisien dan cepat, yang memudahkan masyarakat dalam transaksi jual beli tanah dan pengurusan hak tanggungan. Sertipikat elektronik dilengkapi dengan teknologi keamanan canggih seperti tanda tangan digital dan enkripsi data, yang memberikan perlindungan lebih kuat terhadap pemalsuan dan duplikasi sertipikat.
Regulasi terkait sertipikat elektronik diatur dalam beberapa peraturan, termasuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Peraturan ini mengamanatkan penggunaan sertipikat elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia, yang dikelola oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) di bawah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Regulasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa sertipikat elektronik memiliki validitas hukum yang sama dengan sertipikat fisik dan dilindungi oleh sistem keamanan yang ketat.
Dalam konteks hukum agraria, sertipikat tanah elektronik dapat dilihat sebagai upaya modernisasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hukum agraria di Indonesia. Hukum agraria diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang mengatur penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah. Salah satu asas penting dalam UUPA adalah asas penguasaan oleh negara, yang memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam demi kemakmuran rakyat. Penerapan sertipikat tanah elektronik dapat memperkuat asas ini dengan meningkatkan transparansi dan akurasi data pertanahan.
Dari perspektif hukum agraria juga menekankan pentingnya kepastian hukum dalam kepemilikan tanah. Kepastian hukum ini dapat dicapai melalui pencatatan yang akurat dan sistematis. Sertipikat tanah elektronik, dengan teknologi yang mendukungnya, dapat memberikan kepastian hukum yang lebih baik dibandingkan dengan sertipikat fisik tradisional. Hal ini karena sertipikat elektronik lebih sulit untuk dipalsukan dan lebih mudah untuk diverifikasi keasliannya.
Namun, penerapan sertipikat tanah elektronik juga menghadirkan tantangan baru, terutama terkait keamanan data. Kasus kebocoran data di Pusat Data Nasional (PDN) yang melibatkan ransomware menunjukkan bahwa sistem elektronik rentan terhadap serangan siber. Kebocoran data ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan data pribadi dan informasi kepemilikan tanah yang sensitif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, penyelenggara sistem elektronik wajib melindungi data pribadi dan informasi yang dikelola. Kegagalan dalam melindungi data dapat mengakibatkan sanksi hukum, baik dalam bentuk denda maupun pidana.
Selain itu, perlindungan hak masyarakat juga menjadi perhatian utama dalam penerapan sertipikat tanah elektronik. Hukum agraria Indonesia menekankan pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani. Dalam konteks ini, sertipikat tanah elektronik harus dirancang sedemikian rupa agar tidak mengabaikan hak-hak tersebut. Pemerintah perlu memastikan bahwa proses digitalisasi tidak mengorbankan akses dan kendali masyarakat atas tanah mereka.
Untuk mengatasi masalah keamanan data, pemerintah perlu mengadopsi teknologi keamanan yang lebih canggih dan melakukan audit keamanan secara berkala untuk mencegah kebocoran data. Teknologi seperti kriptografi dan tanda tangan digital harus diimplementasikan dengan ketat sesuai dengan standar internasional seperti ISO 27001. Selain itu, penting untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan sertipikat tanah elektronik untuk meningkatkan kesadaran dan kepercayaan publik.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa regulasi yang ada diperbarui secara berkala untuk mengakomodasi perkembangan teknologi dan ancaman keamanan yang baru. Kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta dan lembaga internasional, dapat membantu dalam mengembangkan dan menerapkan solusi keamanan yang lebih efektif.
Dalam konteks hukum agraria, sertipikat tanah elektronik dapat dilihat sebagai upaya modernisasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hukum agraria di Indonesia. Hukum agraria diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang mengatur penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah. Salah satu asas penting dalam UUPA adalah asas penguasaan oleh negara, yang memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam demi kemakmuran rakyat. Penerapan sertipikat tanah elektronik dapat memperkuat asas ini dengan meningkatkan transparansi dan akurasi data pertanahan.
Namun, penerapan sertipikat tanah elektronik juga menghadirkan tantangan baru, terutama terkait keamanan data. Kasus kebocoran data di Pusat Data Nasional (PDN) yang melibatkan ransomware menunjukkan bahwa sistem elektronik rentan terhadap serangan siber. Kebocoran data ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan data pribadi dan informasi kepemilikan tanah yang sensitif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, penyelenggara sistem elektronik wajib melindungi data pribadi dan informasi yang dikelola. Kegagalan dalam melindungi data dapat mengakibatkan sanksi hukum, baik dalam bentuk denda maupun pidana.
Selain itu, perlindungan hak masyarakat juga menjadi perhatian utama dalam penerapan sertipikat tanah elektronik. Hukum agraria Indonesia menekankan pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani. Dalam konteks ini, sertipikat tanah elektronik harus dirancang sedemikian rupa agar tidak mengabaikan hak-hak tersebut. Pemerintah perlu memastikan bahwa proses digitalisasi tidak mengorbankan akses dan kendali masyarakat atas tanah mereka.
Untuk mengatasi masalah keamanan data, pemerintah perlu mengadopsi teknologi keamanan yang lebih canggih dan melakukan audit keamanan secara berkala untuk mencegah kebocoran data. Teknologi seperti kriptografi dan tanda tangan digital harus diimplementasikan dengan ketat sesuai dengan standar internasional seperti ISO 27001. Selain itu, penting untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan sertipikat tanah elektronik untuk meningkatkan kesadaran dan kepercayaan publik.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa regulasi yang ada diperbarui secara berkala untuk mengakomodasi perkembangan teknologi dan ancaman keamanan yang baru. Kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta dan lembaga internasional, dapat membantu dalam mengembangkan dan menerapkan solusi keamanan yang lebih efektif.
Transformasi hukum agraria melalui penerapan sertipikat tanah elektronik menawarkan peluang besar untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan administrasi pertanahan. Namun, tantangan terkait keamanan data tidak boleh diabaikan. Kasus kebocoran data di PDN menjadi peringatan bagi pemerintah dan instansi terkait untuk memperkuat sistem keamanan dan regulasi yang ada. Dengan pendekatan yang tepat, sertipikat tanah elektronik dapat menjadi langkah maju dalam modernisasi hukum agraria di Indonesia, sambil tetap menjaga perlindungan hak-hak masyarakat dan keamanan data.
(*)