Regional

Rawan Perkawianan Anak, Sulsel Dalam Dilema

AKARBERITA.com, Makassar – Sulawesi Selatan kembali menjadi perbincangan secara Nasional di kalangan aktivis perlindungan perempuan dan anak dengan adanya berita pernikahan dini di Kabupaten Sinjai. Seorang remaja, Erwin (21) asal Kabupaten Jeneponto, menikahi seorang murid SD berinisial RSR yang baru berumur (12) yang baru saja selesai melaksanakan ujian nasional di salah satu SD di Kecamatan Sinjai Utara, Sinjai.

Berdasarkan rilis yang diterima, Lurah Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara Muh Azharuddi Al Anshari membernarkan hal tersebut. Ia mengaku sudah mengimbau orang tua anak untuk tidak menikahkannya karena masih di bawah umur.
Alasan Basri, ayah RSR, mengatakan dirinya terpaksa menikahkan anaknya karena tak ingin anaknya berbuat terlampau jauh yang bisa saja melanggar norma hukum dan agama.

Mencermati dan menyoroti perkawinan kali ini, termasuk perkawinan sebelumnya bahwa kesadaran orang tua untuk mencegah perkawinan anaknya pada usia anak masih sangat rendah. Hal ini utamanya dipicu oleh pemahaman mengenai dampak perkawinan anak khususnya bagi perempuan. Dimana umumnya alasan perkawinan pada umumnya karena khawatir anak melakukan pelanggaran norma dan susila, mencegah aib, masalah ekonomi dan lainnya.

Namun kasus perkawinan anak kali ini, mendapat tanggapan dan kritik yang sangat keras dari Aktivis Perempuan Sulsel yang tergabung dalam “Koalisi Stop Perkawinan Anak” karena usianya baru mencapai 12 tahun dimana anak perempuan ini baru saja keluar dari kategori “mumayyis” yang dalam Kompilasi Hukum Islam adalah usia sebelum 12 tahun. Perkawinan tersebut pun telah melanggar UU Perlindungan Anak pasal 26 poin c: “Orangtua Berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.”

Kami mengapresiasi sikap Lurah Balangnipa Muh Azharuddin Al Anshari yang telah memberikan pemahaman kepada ayah RSR. Namun rupanya upaya tersebut tidak cukup dapat menghentikan perkawinan anak. Jika menurut berita yang beredar bahwa perkawinan tidak dilakukan di Sinjai dengan alasan tidak mendapat ijin dari pemerintah kelurahan yang kemudian pindah ke Jeneponto untuk menikah di sana. Maka jika hal ini benar, maka untuk pencegahan perkawinan anak diperlukan koordinasi dan kerjasama pemerintah antar daerah dengan mencermati usia calon mempelai dan kejelasan status domisilinya sehingga perkawinan anak, setidaknya dapat diminimalkan, yang dimulai dari syarat administrasi yang ketat dalam melakukan perkawinan.

Aktivis Perempuan Sulsel mengharapkan kepada Kementerian Agama Kantor Provinsi Sulsel dapat menyikapi hal ini untuk memberikan instruksi dan pengarahan kepada Kemeterian Agama di kabupaten/kota mengenai pengetatan syarat perkawinan sebagai salah satu upaya untuk mencegah perkawinan anak.

 

(Rls)

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *