AKARBERITA.com, Parepare – Membuka sudut pandangan masyarakat terkait dampak nikah sirih selain terkait masa Iddah, Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bacukiki, Kota Parepare tengah menggencarkan sosialisasi ke masyarakat.
Kepala KUA Bacukiki Amir Said mengatakan, ada dua hal yang sulit dipahami masyarakat terkait pernikahan yang diatur dalam Syariah Islam maupun hukum konvensional, yakni nikah sirih dan masa iddah.
Amir menjelaskan, nikah sirih tidak dikenal dalam Syariah Islam, dan tidak ada praktik nikah siri pada zaman Rasulullah. Nikah sirih, kata dia, lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keluarga, dan biasanya dilakukan pihak laki-laki yang tidak memperoleh izin nikah menikah lagi dari istrinya.
“Masalahnya sekarang, banyak praktik nikah sirih yang di luar dari Syariah Islam, di mana pernikahan yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan dalam Islam misalnya, tidak ada wali nikah, dan tidak ada saksi nikah,” papar Amir.
Diakui Amir, dibolehkan menikah sepanjang memenuhi rukun dan syarat sesuai ajaran Islam, namun karena adanya hukum negara sehingga harus memiliki buku nikah. Belum lagi, kata dia, banyaknya persyaratan-persyaratan ketat lainnya yang harus dipenuhi, yang mengarah kepada poligami.
“Negara mengatur hal itu untuk meminimalisir praktik nikah sirih dan memberikan perlindungan kepada perempuan,” katanya.
Ditambahkan Amir, kalaupun ada anak yang lahir dari hasil pernikahan sirih tersebut, maka itu tidak dapat dijadikan dasar hukum, karena dasar hukum utamanya adalah buku nikah. “Dengan demikian yang korban adalah anak dan istri,” ujarnya.
Terkait iddah, lanjut Amir, juga menjadi persoalan karena masyarakat yang telah melakukan perceraian utamanya perempuan, langsung ingin menikah kembali tanpa melalui masa Iddah terlebih dahulu. Padahal, jelasnya, dalam Quran surah Al-Baqarah ayat 235 telah tegas disebutkan bahwa pernikahan yang dilakukan dalam masa Iddah secara otomatis batal.
“Jadi, yang kami lakukan yaitu menolak berkas nikahnya, karena kami yang berdosa jika meloloskan pernikahannya. Nah jika tetap diloloskan, tentu hubungan suami istri yang dilakukan tentu tidak sah. Makanya akan tetap ditolak,” tegasnya.
Meski sudah memiliki akta cerai atau cerai mati, kata Amir lagi, namun tidak serta merta bisa langsung melakukan pernikahan, tetapi harus terlebih dahulu menyelesaikan masa iddah selama tiga kali suci (masa haid) atau jika dalam hitungan hari terhitung selama empat bulan 10 hari atau 130 hari.
“Jika cerai namun dalam kondisi hamil, nanti setelah melahirkan baru menikah. Mudah-mudahan masyarakat bisa memahami persoalan tersebut, dan tetap patuh pada aturan Syariah Islam dan Hukum Negara.
(Luki)