Oleh: Hamida Hasan
Akademisi Akuntansi, pada Fakultas Bisnis Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada
Permintaan TNI Angkatan Laut (TNI AL) untuk pemutihan tagihan bahan bakar minyak (BBM) ke Pertamina, yang nilainya mencapai triliunan rupiah, telah menyorot perhatian publik dan menjadi perdebatan hangat di ruang-ruang kebijakan nasional. Permasalahan ini tidak hanya menyangkut aspek teknis pembayaran utang, namun juga menyentuh ranah tata kelola anggaran, transparansi, dan pengendalian biaya yang menjadi inti dari akuntansi manajemen modern.
Tunggakan BBM TNI AL yang terdiri dari utang lama Rp2,25 triliun dan tagihan baru Rp3,2 triliun, menurut Kepala Staf TNI AL Laksamana Muhammad Ali, telah mengganggu operasional armada laut Indonesia. Permintaan pemutihan ini diajukan dengan alasan beban berat akibat harga BBM industri yang masih dibebankan kepada TNI AL, berbeda dengan Polri yang memperoleh harga subsidi.
Namun, dari sudut pandang akuntansi manajemen, permintaan pemutihan ini justru menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas sistem penganggaran dan pengendalian biaya di tubuh TNI AL. Akuntansi manajemen menuntut adanya perencanaan kebutuhan yang matang, pengawasan internal yang kuat, serta pelaporan yang transparan agar setiap pengeluaran dapat dipertanggungjawabkan secara jelas.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai permintaan pemutihan utang tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan menunjukkan lemahnya tata kelola anggaran di lingkungan TNI AL. Dengan pagu anggaran pengadaan barang dan jasa tahun 2025 yang mencapai Rp11,08 triliun, secara logika, TNI AL masih memiliki ruang fiskal untuk menutup tunggakan tanpa harus meminta penghapusan utang.
Permintaan pemutihan juga memperlihatkan adanya masalah dalam mekanisme pengawasan dan pelaporan digital yang telah diterapkan sejak 2022. Sistem e-BMP yang seharusnya meningkatkan transparansi dan efisiensi ternyata belum mampu mencegah terjadinya tunggakan, sehingga perlu dievaluasi efektivitasnya.
Dari sisi kebijakan, pengamat militer menilai pemutihan utang hanya layak dipertimbangkan sebagai solusi darurat, bukan sebagai jalan keluar jangka panjang. Solusi yang berkelanjutan adalah dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penganggaran, perencanaan kebutuhan operasional, dan tata kelola penggunaan BBM di lingkungan TNI AL.
Evaluasi ini penting untuk mengetahui apakah anggaran yang selama ini dialokasikan memang tidak mencukupi kebutuhan riil, atau justru ada masalah dalam efisiensi dan akuntabilitas penggunaan BBM. Audit objektif dan penguatan mekanisme pengawasan internal maupun eksternal sangat diperlukan untuk mencegah pemborosan dan penyimpangan anggaran.
Permintaan pemutihan utang juga menimbulkan kekhawatiran akan preseden buruk di masa depan. Jika permintaan ini dikabulkan tanpa evaluasi mendalam, bukan tidak mungkin institusi negara lain akan mengajukan permintaan serupa, sehingga mengancam disiplin fiskal dan kredibilitas pengelolaan keuangan negara.
TNI AL beralasan bahwa tingginya kebutuhan BBM, termasuk untuk menjaga peralatan elektronik di kapal tetap hidup saat bersandar, membuat konsumsi BBM tidak bisa ditekan. Namun, alasan ini semestinya menjadi dasar untuk perencanaan kebutuhan yang lebih akurat dan penganggaran yang lebih realistis, bukan justru menjadi pembenaran untuk menumpuk utang.
Perbedaan perlakuan harga BBM antara TNI AL dan Polri juga menjadi sorotan. Usulan agar BBM TNI AL dialihkan ke harga subsidi memang layak dikaji, namun tetap harus disertai dengan reformasi tata kelola anggaran dan penguatan sistem pelaporan agar subsidi tidak menimbulkan moral hazard dan pemborosan.
Langkah Kepala Staf TNI AL yang mengusulkan agar pengelolaan BBM diatur secara terpusat oleh Kementerian Pertahanan patut diapresiasi sebagai upaya memperbaiki tata kelola.
Sentralisasi ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi distribusi BBM di lingkungan militer, asalkan diikuti dengan pengawasan yang ketat dan sistem pelaporan yang terintegrasi.
Permasalahan tunggakan BBM TNI AL juga mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam pengelolaan anggaran pertahanan nasional. Potensi ketidaksesuaian antara kebutuhan operasional dan realisasi anggaran bisa terjadi di matra lain atau bahkan di seluruh sektor pertahanan, sehingga pembenahan tata kelola anggaran harus dilakukan secara lintas sektor.
Dari perspektif akuntansi manajemen, transparansi dan pengendalian biaya adalah kunci utama dalam menjaga efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran negara. Setiap satuan kerja harus bertanggung jawab atas penggunaan BBM secara transparan dan terukur, dengan pelaporan dan evaluasi berkala untuk mencegah pemborosan dan penyimpangan.
Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, masih mengkaji permintaan pemutihan utang ini secara internal. Proses kajian ini harus dilakukan secara cermat dan menyeluruh agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan preseden buruk bagi tata kelola keuangan negara.
Digitalisasi pelaporan pengadaan BBM di lingkungan TNI AL harus terus diperkuat, tidak hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada integrasi data lintas satuan kerja dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Tanpa hal ini, digitalisasi hanya akan menjadi formalitas administratif yang tidak berdampak nyata pada efisiensi dan transparansi.
Selain itu, pemerintah perlu memperjelas aturan main terkait pengelolaan utang institusi negara kepada BUMN. Aturan yang tegas dan konsisten akan mencegah terjadinya permintaan pemutihan utang secara sporadis di masa depan, serta menjaga kredibilitas pengelolaan keuangan negara
Keterlibatan lembaga pengawas eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat penting dalam memastikan tidak ada penyimpangan dalam pengelolaan anggaran BBM di lingkungan TNI AL. Pengawasan yang independen akan memperkuat akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan.
Pendidikan dan pelatihan tentang akuntansi manajemen harus terus ditingkatkan di lingkungan TNI agar setiap pejabat pengelola anggaran memahami prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Dengan demikian, setiap rupiah anggaran negara dapat digunakan secara optimal untuk kepentingan rakyat dan pertahanan Nasional.
Permintaan pemutihan utang oleh TNI AL harus menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara secara menyeluruh. Ini adalah ujian bagi semua pihak, apakah mampu menegakkan prinsip transparansi dan pengendalian biaya di atas kepentingan sesaat.
Keputusan pemerintah dalam merespons permintaan ini akan menjadi tolok ukur komitmen terhadap reformasi birokrasi dan penguatan sistem akuntansi manajemen di sektor publik. Jika prinsip-prinsip akuntansi manajemen dijalankan dengan konsisten, maka setiap rupiah anggaran negara akan benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat dan pertahanan nasional secara optimal.
Sebaliknya, jika solusi instan seperti pemutihan utang terus menjadi pilihan, maka kredibilitas tata kelola keuangan negara akan terus dipertaruhkan. Kasus TNI AL ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua institusi negara agar selalu menempatkan transparansi, akuntabilitas, dan pengendalian biaya sebagai fondasi utama dalam pengelolaan anggaran.
Pada akhirnya, penguatan sistem pengendalian internal, evaluasi menyeluruh terhadap sistem anggaran, dan keterbukaan informasi kepada publik adalah langkah-langkah strategis yang harus segera diambil. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara dapat terus terjaga.
Cuma mengingatkan bahwa dalam pengelolaan keuangan negara, transparansi dan pengendalian biaya bukan sekadar alat ukur, melainkan kompas moral yang menuntun setiap langkah menuju tata kelola yang berintegritas.
***