Oleh: Muhammad Gairil Mahendra
Mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Kota Parepare
UU ITE yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan siber kini tengah menarik perhatian karena dampaknya terhadap kebebasan berekspresi. Sanksi pidana yang berat sering kali membuat orang enggan menyampaikan pendapat atau kritiknya, terutama terhadap pemerintah. Hal ini menciptakan suasana ketakutan yang menghambat dialog publik yang konstruktif.
Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian seringkali dimaknai berbeda dan rawan disalahgunakan. Akibatnya, banyak masyarakat yang merasa terancam ketika menyampaikan kritik atau pendapat di muka umum, terutama jika menyangkut isu pemerintahan atau topik sensitif lainnya. Oleh karena itu, ketentuan UU ITE perlu dievaluasi dan diubah secara berimbang agar perlindungan terhadap kejahatan digital tidak mengorbankan kebebasan berekspresi.
Ketidakadilan disebabkan oleh penegakan hukum yang tidak konsisten, sementara kurangnya pengetahuan digital membuat masyarakat lebih rentan terhadap pelanggaran hukum. Ini memiliki konsekuensi negatif, seperti intimidasi hukum dan ketakutan untuk berbicara, yang pada akhirnya akan membebani sistem peradilan.
Selain itu, sanksi pidana yang ditetapkan oleh UU ITE sering dianggap tidak proporsional dan tidak jelas tentang bagaimana mereka digunakan. Sebagai contoh, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak menjelaskan jenis penghinaan, yang menimbulkan keraguan hukum. Berbeda dengan Pasal 310–321 KUHP, yang lebih rinci, sanksi diberikan sesuai tingkat pelanggaran. Karena ketidakkonsistenan ini, tugas penegak hukum menjadi lebih sulit dan dapat menyebabkan ketidakadilan.
Untuk melindungi ruang digital dan mendukung kebebasan berpendapat dan demokrasi, UU ITE harus diubah dengan mengutamakan mediasi daripada kriminalisasi, meningkatkan literasi digital, dan memastikan penegakan hukum yang adil dan profesional.
Selain itu, pasal-pasal tertentu, seperti yang mengatur pencemaran nama baik, tidak jelas, yang membuat lebih sulit untuk menerapkan sanksi. Hakim kesulitan memutuskan perkara karena sanksi yang terlalu berat untuk semua jenis penghinaan tanpa menjelaskan jenis penghinaan tersebut. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hukum digital juga penting untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang hak dan kewajiban mereka di dunia maya.
Penerapan sanksi pidana yang terlalu keras dalam UU ITE berisiko mengekang kebebasan berpendapat, yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi. Ketika individu merasa takut untuk mengemukakan pendapat mereka, terutama dalam forum publik atau media sosial, maka ruang demokrasi akan semakin sempit. Media sosial menjadi arena utama di mana kebebasan berpendapat diekspresikan oleh masyarakat Indonesia.
Namun, di sinilah juga UU ITE sering kali dijadikan dasar untuk menuntut pengguna media sosial. Kritik terhadap pemerintah atau pejabat negara yang disampaikan melalui platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram sering kali berujung pada laporan polisi dan tuntutan hukum. Hal ini menimbulkan ketidakpastian di kalangan masyarakat mengenai batasan-batasan yang jelas antara kebebasan berpendapat dan pelanggaran hukum, yang seharusnya tidak mudah dibedakan.
Sebagai contoh, banyaknya kasus kejahatan siber menimbulkan masalah khusus. Pelaku sering sulit dilacak karena beroperasi lintas negara atau menggunakan teknologi canggih untuk menyembunyikan identitas mereka. Ini menunjukkan bahwa hanya meningkatkan sanksi pidana tanpa meningkatkan deteksi dan keamanan siber adalah pilihan yang tidak efisien. Sangat penting untuk merevisi pasal-pasal UU ITE yang menyebabkan masalah ini. Untuk kasus ringan, pendekatan yang lebih manusiawi, seperti mediasi atau penyelesaian non-kriminal, harus diutamakan.
Pemerintah daalam hal ini dapat mencari solusi yang lebih konstruktif dalam menghadapi tantangan kebebasan berpendapat di era digital. Salah satunya adalah dengan meningkatkan literasi digital di masyarakat, sehingga mereka lebih paham tentang penggunaan media sosial yang bijak dan tidak melanggar hukum.
Selain itu, pembentukan lembaga yang independen untuk menangani aduan terkait kebebasan berpendapat di ruang digital juga dapat menjadi langkah positif. Dengan demikian, masyarakat dapat merasa lebih aman dan terlindungi tanpa takut dihukum hanya karena menyuarakan pendapat mereka.
Keamanan siber dan perlindungan data yang lebih baik dapat mencegah pelanggaran sebelum terjadi. Dengan cara ini, kita dapat membuat lingkungan digital aman tanpa mengorbankan hak-hak demokratis. Untuk melindungi masyarakat tanpa mengorbankan hak demokrasi, UU ITE harus dibuat. Undang-undang ini dapat menjadi lebih adil, efisien, dan responsif terhadap tantangan yang muncul di era teknologi dengan reformasi yang tepat.
(*)