Headline

Sabtu, 04 Januari 2025
Opini

Kelemahan dan Kekuatan Penanganan Cyber Crime di Indonesia Melalui UU ITE

Oleh: Nafilah Amalia
Mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Kota Parepare

Cyber crime atau kejahatan siber merupakan suatu tindakan yang bertujuan sama dengan kejahatan lain yang biasa kita kenal seperti misalnya pembunuhan, perampokan dan lainnya yaitu bertujuan untuk menguntungkan pelaku dan merugikan korban namun yang berbeda adalah kalau kejahatan siber adalah kejahatan yang dilakukan dengan melalui proses digital. Kejahatan siber memiliki karakteristik berbeda dengan kejahatan lainnya, yakni tanpa kekerasan, sedikit melibatkan kontak fisik. Menggunakan peralatan, memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media, dan informatika).

Cyber crime atau kejahatan siber muncul bersamaan dengan lahirnya kemajuan teknologi yang mana kejahatan ini berkaitan erat atau dilakukan langsung dalam cyber space. Istilah cyberspace diprediksi muncul pertama kali di Indonesia sejak tahun 90-an di mana istilah cyberspace saat itu dialih bahasakan menjadi “mayantara” dan kemudian di tahun 2000-an barulah mulai digunakan istilah dunia Maya untuk menyebutkan cyber space. Namun bahkan sejak munculnya Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) pun, masih belum bisa menjelaskan dan memberikan padanan kata dalam bahasa Indonesia terkait “cyber” itu sendiri.

Lalu akhirnya berdasarkan revisi dari Undang-undang tersebut muncullah Undang-undang nomor 19 tahun 2016 yang pada pasal 29 UU ITE tersebut muncullah frasa cyber bullying atau dapat diartikan dengan perundungan di dunia siber.

Pada era digital ini sekarang tentunya kita berada pada zaman modern yang tentunya kita dikembangkan oleh media sosial atau kehidupan di dunia maya. Beberapa aktivitas sudah berkembang contohnya seperti belanja online dan di era sekarang pun tidak kita pungkiri bahwa kejahatan ciber itu bisa terjadi dalam aktivitas-aktivitas tersebut, atas dasar kepercayaan tinggi oleh seseorang di dunia maya.

Adapun beberapa tantangan kejahatan siber seperti kurangnya kesadaran masyarakat tentang bahaya kejahatan siber, lemahnya penegakan hukum dan keamanan siber, dan masih banyak lagi bentuk kejahatan siber. Dalam menangani kejahatan siber di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dan perlu mengetahui solusi yang efektivitas dalam menangani kejahatan siber diindonesia.

Di masa sekarang, berbagai aktivitas kita sudah beralih ke dunia maya, mulai dari aktivitas belanja, menjual, pembayaran, berkomunikasi dan aktivitas lainnya. Peningkatan aktivitas dalam dunia maya tersebut juga membuka ruang yang lebih lebar terhadap jenis kejahatan siber yang bisa dilakukan seperti yang sedang viral di Indonesia yaitu Hacker Bjorka yang melakukan peretasan data masyarakat Indonesia dan beberapa orang penting atau pejabat.

Hacking atau peretasan merupakan salah satu bentuk cyber crime yang diatur dalam berbagai pasal dalam UU ITE seperti misalnya pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun.

Upaya yang dilakukan pemerintah pun juga meningkat dalam hal aturannya, yaitu UU ITE yang awalnya terbuat No. 11 tahun 2008 dilakukan perubahan pertama menjadi UU No. 22 tahun 2016 dan dilakukan lagi perubahan No. 1 tahun 2024. Kedua perubahan atas undang-undang ITE No.11 tahun 2008 tersebut menambah dan melakukan perubahan yang cukup signifikan seperti merubah frasa dan menambah ketentuan pidana.

Namun setelah berbagai perubahan tersebut, justru angka cyber crime malah masih terus meningkat bukannya menurun, hal inilah yang perlu dikaji tentang tindakan yang perlu dilakukan agar dapat menurunkan angka cyber crime di Indonesia.

Tulisan ini bersifat opini. Menurut penulis dalam hal meningkatkan efektivitas penanganan kejahatan siber di Indonesia membutuhkan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Pertama diperlukan peningkatan kapasitas dan sumber daya, yaitu sumber daya yang berkaitan dengan kemampuan teknologi Indonesia yang harus ditingkatkan agar tidak mudah diretas.

Kedua penguatan regulasi dan penegakan hukum, karena walaupun uu ITE telah dilakukan dua kali perubahan yang di dalamnya telah dilakukan berbagai penyesuaian namun terus adanya perkembangan zaman, membuat regulasi pun senantiasa “tertinggal” dan membuat masih saja ada bentuk-bentuk kejahatan siber baru yang tidak ada aturannya. Ketiga kesadaran dan edukasi masyarakat, hal ini juga penting karena mudahnya peretasan dan penipuan di cyberspace terjadi karena kurangnya pengetahuan dari para masyarakat itu sendiri.

Keempat peran aktif penegak hukum, merupakan langkah-langkah penting yang perlu dilakukan karena percuma perencanaan yang baik (regulasi) percuma kepedulian yang baik (mensejahterakan rakyat) kalau eksekusi atau pelaksanaannya buruk (penegakan kejahatan siber). Dengan kerja sama dan komitmen yang kuat dari semua pihak, kejahatan siber di Indonesia akan dapat diatasi dengan lebih efektif.

Sebagai kesimpulan, UU ITE yang ada dari dulu sampai sekarang masih perlu dilakukan penyesuaian, sehingga terkait menguat atau melemahnya penanganan cyber crime di Indonesia melalui UU ITE maka jawabannya adalah menguat, namun terkait jumlah kejahatannya pun juga meningkat.

Maka dari itu diperlukan keempat langkah yang penulis sebutkan sebelumnya dan diperlukan kerja sama dari berbagai pihak agar cyber crime atau kejahatan siber di Indonesia akan dapat ditekan dan pada akhirnya akan bisa diberantas sampai habis.

(*)

 

BAGIKAN:

Berita Terkait

1 dari 5

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *