Oleh: Desy Wulandari
Mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Kota Parepare
UU ITE sudah dicanangkan semenjak tahun 2003 dan setelah melalui proses panjang diresmikan pada tahun 2008. Namun dalam praktiknya UU kerap menuai kontroversi. UU ITE mengatur berbagai aspek penggunaan tekhnologi informasi dan transaksi elektronik, termasuk : hak dan kewajiban pengguna internet, perlindungan data pribadi, tindakan pidana terkait dengan penyalahgunaan teknologi informasi, serta tata cara penyelesaian sengketa elektronik.
Pasal 27 UU ITE merupakan bagian dari Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) yang dibentuk pada tanggal 21 april 2018. Pasal 27 UU ITE melarang perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan penyebaran informasi elektronik yang mengandung : Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, Muatan yang melanggar kesusilaan, pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal inipun dianggap membatasi ruang gerak masyarakat untuk menyampaikan pendapat, ide atau informasi bebas.
Judul ini berhasil menarik perhatian dan memunculkan berbagai pertanyaan tentang implikasi Pasal 27 UU ITE. Namun, perlu diingat bahwa judul ini bersifat opini dan belum tentu sepenuhnya akurat.
UU ITE Pasal 27 memang sering menjadi sorotan, khususnya dalam konteks penegakan hukum di dunia digital. Penerapan pasal ini kerap menimbulkan perdebatan dan dianggap terlalu mudah digunakan untuk membungkam kritik atau pendapat yang berlawanan.
Dalam pasal 27 ini memiliki arti yang sangat luas sehingga dapat dikatakan ambigu atau tidak jelas,pasal 27 ini sering disalahgunakan oleh orang-orang yang berkepentingan,misalnya dalam menerima kritikan dari masyarakat,pemerintah biasanya menganggap itu adalah penghinaan,pencemaran nama baik dan bahkan dikatakan pelecehan.
Sifat-sifat ini dapat menggoyahkan domokrasi indonesia,sehingga pasal 27 ini harus diubah agar tidak menimbulkan polemik lagi diera serba digital saat ini.
Salah satu kritik utama sering kali menyangkut susunan kata dalam pasal yang dianggap terlalu luas dan multitafsir. Akibatnya, pasal ini sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Batasan antara kritik yang membangun dan tindakan ilegal seringkali menjadi kabur, sehingga menimbulkan ketidak pastian hukum dan memfasilitasi penyalahgunaan kekuasaan.
Secara ringkas, Pasal 27 UU ITE mempunyai susunan kata dalam tersebut terlalu luas dan menimbulkan banyak penafsiran, serta kurang optimalnya proses penegakan hukum sehingga menyebabkan pasal ini banyak menimbulkan permasalahan dibandingkan solusi. Untuk memperbaiki keadaan. Pasal 27 UU ITE merupakan peraturan yang kontroversial dan dapat menyesatkan. Pasal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penyebaran mis informasi dan ujaran kebencian, namun implementasinya seringkali bermasalah.
Definisi yang tidak jelas mengenai “ Informasi ilegal “ membuat pasal ini terbuka terhadap berbagai penafsiran dan dapat disalahgunakan oleh pihak yang berwenang bukan hanya itu.
Di Era digital yang berkembang pesat, kebebasan berekspresi dan demokrasi harus dilindungi, karena semakin majunya perkembangan elektronik makin maraknya kejahatan didunia digital sehingga Pasal 27 UU ITE perlu diubah untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga Indonesia.
Dalam kesimpulan ini, Pasal 27 UU ITE dengan rumusan yang tidak jelas, telah menjadi alat yang sering disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat di Indonesia. Revisi terhadap pasal ini sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan mendukung demokrasi.
(*)