Headline

Rabu, 13 Agustus 2025
Opini

Dilema Etika dan Akuntabilitas Akuntan Publik Menyikapi Fenomena Pemblokiran Massal Rekening Nasabah oleh PPATK

Oleh: Hamida Hasan
Akademisi Institut Andi Sapada

AKARBERITA.COM, Parepare – Kebijakan pemblokiran massal rekening dormant oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah membangkitkan perdebatan mendalam, khususnya apabila dikaji dari perspektif ilmu akuntansi. Fenomena ini tidak hanya menyoroti perlunya penegakan hukum dan pencegahan tindak pidana keuangan, tetapi juga menggugah pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pelaporan keuangan lembaga negara serta institusi perbankan. Dalam konteks tata kelola keuangan modern, setiap keputusan berdampak strategis, seperti pemblokiran rekening nasabah, sejatinya harus diiringi dengan proses pencatatan dan pelaporan yang akurat, transparan, dan dapat diaudit secara kritis.

Dari sudut pandang akuntansi, salah satu problem mendasar adalah bagaimana dana nasabah yang terkena blokir harus diperlakukan dalam pembukuan bank maupun pelaporan keuangan lembaga terkait. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) menekankan pentingnya keandalan, keterpahaman, serta penyajian informasi yang jelas tentang status aset. Dana yang diblokir sementara tentu bukan sekadar saldo pasif, melainkan mencerminkan hak serta kewajiban yang perlu dimitigasi risikonya dengan pengungkapan yang jujur pada laporan keuangan.

Keberadaan dana dormant dalam jumlah besar yang berada dalam status “tertahan” atau “dibekukan” menuntut kehati-hatian akuntan dalam melakukan klasifikasi pos-pos keuangan. Kegagalan untuk memisahkan dana yang aktif, inactive, maupun yang bersengketa dapat berujung pada penyajian laporan keuangan yang menyesatkan (misleading). Hal ini berpotensi meningkatkan risiko salah saji material (material misstatement), yang akan memengaruhi persepsi dan kepercayaan para pemangku kepentingan, termasuk auditor eksternal dan regulator.

Persoalan makin kompleks ketika pelaporan keuangan dana nasabah yang diblokir ini tidak terakomodasi secara eksplisit dalam sistem pelaporan internal perbankan maupun PPATK. Dalam praktik terbaik good governance, setiap perubahan status dana yang sifatnya material wajib diungkapkan melalui catatan atas laporan keuangan agar tidak menimbulkan asimetri informasi. Ketiadaan catatan dan klarifikasi dalam laporan dapat menimbulkan spekulasi, serta memberikan ruang bagi ketidakpastian atau bahkan penyalahgunaan wewenang.

Akuntan publik, sebagai pihak independen yang menjaga objektivitas dan integritas laporan keuangan, perlu menyoroti kebijakan ini secara holistik. Dengan melakukan audit investigatif dan audit kepatuhan, akuntan profesional dapat memetakan apakah prosedur pemblokiran telah dijalankan berdasarkan standar operasional yang jelas dan adil. Akuntan juga wajib menilai adanya mekanisme verifikasi serta validasi yang cukup sebelum dana nasabah dibekukan, demi melindungi hak-hak individu yang legitimate.

Di sisi lain, kolaborasi antara PPATK, institusi perbankan, dan akuntan publik dalam menyusun sistem pelaporan keuangan berbasis teknologi informasi menjadi aspek krusial. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya pelacakan status dana dormant secara real-time, yang akan memperkuat proses monitoring, serta memudahkan proses audit dan pelaporan kepada otoritas regulator maupun masyarakat. Penerapan teknologi forensik akuntansi juga menjadi salah satu kunci dalam memastikan kriteria risiko dapat diidentifikasi secara proporsional, bukan berdasarkan generalisasi semata.

Masukan dari sudut pandang akuntansi juga terkait erat dengan perlunya diferensiasi risiko berbasis evidence dalam setiap proses pemblokiran rekening. Setiap tindakan yang diambil PPATK hendaknya didukung dengan dokumentasi memadai yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan profesional. Proses notifikasi, klarifikasi, dan peluang keberatan bagi nasabah secara transparan harus menjadi bagian dari siklus pengendalian internal, sebagaimana diamanatkan dalam prinsip-prinsip internal control framework.

Aspek lain yang patut diperhatikan adalah potensi dampak pemblokiran massal terhadap struktur likuiditas perbankan. Apabila reaktivasi dana terjadi secara serentak, bank harus sanggup mengelola aliran kas secara sehat untuk menjaga keberlanjutan operasionalnya. Oleh karenanya, sistem akuntansi manajemen risiko perlu dikembangkan lebih matang agar bank mampu mengantisipasi skenario risiko terbaik maupun terburuk yang mungkin terjadi pasca-kebijakan ini.

Peran akuntan publik sebagai mediator antara kepentingan lembaga negara dan hak publik sangat vital dalam menciptakan kepercayaan sosial. Dalam konteks prinsip akuntansi keuangan, transparansi adalah elemen kunci demi menghindari kesenjangan antara kebijakan dan kenyataan di lapangan. Penyusunan kebijakan yang tidak didasarkan pada proses pelaporan keuangan yang robust akan menurunkan kredibilitas dan efektivitas lembaga pengambil keputusan.

Selain itu, masukan dari profesi akuntansi berkaitan dengan pentingnya pembaruan sistem edukasi keuangan kepada masyarakat. Akuntan publik dapat berperan sebagai narasumber independen yang memberikan pemahaman kepada nasabah tentang hak dan kewajiban jika mengalami pemblokiran rekening, sekaligus mengedukasi tentang prosedur pengaduan atau keberatan. Aktivitas ini akan memperkuat posisi masyarakat sebagai pemangku kepentingan aktif dalam tata kelola keuangan nasional.

Fungsi audit internal di lingkungan institusi keuangan perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam menilai pelaksanaan kebijakan pemblokiran secara berkala. Hasil audit harus dipublikasikan secara terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Akuntan publik dapat merekomendasikan mekanisme evaluasi independen secara periodik atas efektivitas dan dampak kebijakan yang ditempuh PPATK, guna mencegah potensi pelanggaran hak publik dan meningkatkan continuous improvement.

Jika dilihat dari perspektif etika profesi akuntan, dilema paling menonjol muncul ketika ada tarik-menarik antara kepentingan pemberantasan tindak pidana keuangan dan kewajiban perlindungan kepentingan publik. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menegaskan bahwa akuntan harus menjaga prinsip integritas, objektivitas, dan ketidakberpihakan dalam segala kondisi, termasuk dalam situasi dilematis seperti kebijakan pemblokiran massal rekening.

Oleh sebab itu, partisipasi akuntan publik tidak boleh terbatas pada proses pelaporan administratif, melainkan juga harus aktif dalam forum evaluasi kebijakan publik. Akuntan profesional diharapkan mampu memberikan masukan berbasis kajian empiris dan data audit, sehingga keputusan-keputusan strategis dapat diambil secara evidence-based dan berkeadilan.
Selanjutnya, perlu ditegaskan bahwa proses akuntansi dalam lingkup kebijakan publik, seperti yang dijalankan PPATK, seyogianya tidak hanya mengejar kepatuhan administratif semata, melainkan juga menempatkan perlindungan hak-hak warga negara sebagai bagian dari nilai dasar good governance. Penyempurnaan SOP, harmonisasi sistem pelaporan, dan penguatan fungsi pengendalian internal akan menjadi pondasi yang menjamin keberlanjutan kredibilitas sektor keuangan nasional.

Langkah perbaikan harus diarahkan pada integrasi antara sistem pengawasan internal, audit independen, dan mekanisme pengaduan eksternal yang mudah diakses publik. Hal ini selaras dengan prinsip transparansi dalam International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) yang menuntut keterbukaan dan pertanggungjawaban atas setiap kebijakan yang berdampak pada keuangan masyarakat.

Sebagai refleksi akhir, perkembangan kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh PPATK memberikan pelajaran penting tentang urgensi sinergi antara otoritas negara dan profesi akuntansi. Kolaborasi keduanya diharapkan mampu membangun sistem tata kelola keuangan yang tidak hanya patuh hukum, tetapi juga berkualitas secara moral dan akuntabel dalam menjamin hak-hak publik.

Momen krusial yang dihadirkan oleh kebijakan pemblokiran massal rekening dormant ini hendaknya menjadi refleksi bersama akan pentingnya keadilan, transparansi, dan integritas dalam tata kelola keuangan nasional. Profesi akuntansi memiliki posisi yang terhormat sebagai penjaga akuntabilitas, pengawal kepentingan publik, sekaligus jembatan harmoni antara kebijakan negara dan hak-hak masyarakat. Hanya dengan komitmen terhadap prinsip moral dan ilmu pengetahuan, setiap tantangan dapat dihadapi tanpa mengorbankan kepercayaan sosial yang telah dibangun dengan susah payah. Sungguh benar pepatah, “Kepercayaan adalah modal utama dalam setiap sistem yang beradab.” Semoga setiap langkah kolaborasi dan perbaikan yang diambil tidak hanya memperkuat sistem, tetapi juga menghadirkan kemaslahatan bagi seluruh elemen bangsa demi masa depan keuangan yang sehat, adil, serta bermartabat.

(*)

BAGIKAN:

Berita Terkait

1 dari 7

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *