Headline

Rabu, 16 April 2025
Opini

Antara Digitalisasi dan Realita: Menyoal Fungsi ‘E’ dalam Dokumen Elektronik di Era Modern

Oleh:
Muh. Akbar Fhad Syahril
Dosen Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada Kota Parepare

Fenomena digitalisasi administrasi telah menjadi salah satu tonggak penting dalam upaya modernisasi birokrasi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu wujud nyata dari transformasi ini adalah penggunaan dokumen elektronik yang diharapkan mampu menggantikan dokumen fisik secara menyeluruh. Namun, kenyataannya di lapangan seringkali berbeda.

Meskipun dokumen elektronik sudah diakui secara hukum dan diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), masih banyak instansi dan proses administrasi yang tetap mensyaratkan fotokopi dokumen fisik. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa sebenarnya fungsi huruf “E” dalam dokumen elektronik jika pada praktiknya dokumen tersebut belum sepenuhnya menggantikan dokumen fisik?

Secara teoritis, dokumen elektronik adalah informasi elektronik yang dibuat, dikirim, diterima, atau disimpan dalam bentuk elektronik dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen tertulis konvensional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, secara eksplisit mengatur bahwa dokumen elektronik memiliki kekuatan hukum yang sah sepanjang memenuhi persyaratan tertentu, seperti keaslian, integritas, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, dokumen elektronik seharusnya mampu menghilangkan kebutuhan akan dokumen fisik sebagai bukti administratif.

Namun, dalam praktiknya, masih banyak pihak yang ragu atau bahkan enggan menerima dokumen elektronik sebagai bukti yang sah tanpa adanya dokumen fisik pendukung. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ketidakpahaman terhadap regulasi, kekhawatiran terhadap keamanan data elektronik, serta kebiasaan lama yang sulit diubah. Akibatnya, meskipun dokumen elektronik sudah tersedia, proses administrasi tetap menuntut fotokopi dokumen fisik, yang pada akhirnya menimbulkan inefisiensi dan paradoks dalam transformasi digital.

Dari perspektif hukum, fenomena ini menunjukkan adanya gap antara regulasi dan implementasi di lapangan. UU ITE telah memberikan payung hukum yang kuat bagi dokumen elektronik, namun belum diikuti dengan penyesuaian prosedur dan budaya kerja di berbagai instansi. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi tumpang tindih aturan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat dan pelaku usaha yang mengandalkan kemudahan digitalisasi.

Lebih jauh, teori hukum positif menekankan bahwa hukum harus bersifat efektif dan dapat diterapkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Jika sebuah regulasi sudah ada namun tidak diimplementasikan dengan baik, maka fungsi hukum sebagai pengatur dan pelindung kepentingan publik menjadi tidak optimal. Dalam konteks dokumen elektronik, ketidaksesuaian antara aturan dan praktik ini menghambat tujuan utama digitalisasi, yaitu efisiensi, transparansi, dan kemudahan akses layanan publik.

Selain itu, dari sudut pandang teori hukum teknologi informasi, dokumen elektronik harus dipandang sebagai entitas hukum yang mandiri dan setara dengan dokumen fisik. Konsep ini didukung oleh prinsip legalitas dan non-diskriminasi dalam penggunaan teknologi informasi. Artinya, dokumen elektronik tidak boleh diperlakukan berbeda hanya karena bentuknya yang digital. Jika masih ada persyaratan fotokopi fisik, maka hal ini berpotensi melanggar prinsip tersebut dan menimbulkan diskriminasi terhadap penggunaan teknologi digital.

Ketidakselarasan ini juga berdampak pada aspek keamanan dan perlindungan data. Dokumen elektronik yang sah secara hukum biasanya dilengkapi dengan tanda tangan elektronik dan sistem keamanan yang menjamin keaslian dan integritas data. Namun, jika dokumen elektronik tetap harus dicetak dan difotokopi, maka risiko kebocoran data dan penyalahgunaan informasi menjadi lebih besar. Hal ini bertentangan dengan semangat UU ITE yang juga mengatur perlindungan data pribadi dan keamanan informasi elektronik.

Dari sisi administrasi publik, ketergantungan pada dokumen fisik juga menunjukkan lemahnya adaptasi terhadap teknologi digital. Transformasi digital bukan hanya soal mengganti media dokumen, tetapi juga mengubah mindset dan budaya kerja agar lebih responsif terhadap inovasi teknologi. Jika birokrasi masih mengandalkan dokumen fisik, maka potensi efisiensi dan percepatan layanan publik tidak akan tercapai secara maksimal.

Lebih jauh, fenomena ini juga menimbulkan beban biaya dan waktu yang tidak sedikit bagi masyarakat. Proses fotokopi dokumen fisik memerlukan sumber daya tambahan, baik dari segi biaya cetak maupun waktu yang terbuang. Hal ini bertentangan dengan tujuan digitalisasi yang ingin memangkas birokrasi dan mempermudah akses layanan. Oleh karena itu, ketidakefektifan penerapan dokumen elektronik dapat menjadi hambatan serius dalam pembangunan e-government dan smart city.

Dalam konteks hukum ITE, penting untuk meninjau kembali implementasi dan sosialisasi regulasi terkait dokumen elektronik. Pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh instansi dan pelaku usaha memahami dan menerapkan ketentuan UU ITE secara konsisten. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang masih mempersulit penggunaan dokumen elektronik tanpa alasan yang jelas.

Tidak kalah penting adalah pengembangan infrastruktur teknologi yang memadai untuk mendukung penggunaan dokumen elektronik secara luas. Ketersediaan sistem tanda tangan elektronik yang aman, platform penyimpanan data yang terpercaya, serta jaringan internet yang stabil menjadi faktor kunci keberhasilan transformasi digital. Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, dokumen elektronik tidak akan dapat berfungsi optimal dan masyarakat akan tetap bergantung pada dokumen fisik.

Dari perspektif teori hukum sosiologis, hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial dan teknologi. Jika masyarakat sudah mulai menerima dan menggunakan dokumen elektronik, maka hukum dan praktik administrasi harus segera menyesuaikan agar tidak menjadi penghambat inovasi. Keterlambatan adaptasi hukum dan birokrasi dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem digital dan menghambat kemajuan teknologi informasi.

Lebih jauh, fenomena ini juga membuka ruang diskusi tentang perlunya revisi atau penyempurnaan regulasi yang mengatur dokumen elektronik. Misalnya, perlu ditegaskan secara eksplisit bahwa dokumen elektronik yang memenuhi standar keamanan dan keaslian tidak boleh dipersyaratkan fotokopi fisik dalam proses administrasi. Hal ini akan memberikan kepastian hukum dan mempercepat adopsi teknologi digital di berbagai sektor.

Selain itu, edukasi dan pelatihan bagi aparat birokrasi dan masyarakat umum menjadi sangat penting. Pemahaman yang baik tentang kekuatan hukum dokumen elektronik dan cara penggunaannya akan mengurangi resistensi dan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem digital. Dengan demikian, transformasi administrasi digital dapat berjalan lebih lancar dan efektif.

Dalam konteks global, banyak negara telah berhasil menerapkan dokumen elektronik secara penuh tanpa memerlukan dokumen fisik sebagai pendukung. Indonesia dapat belajar dari praktik terbaik tersebut untuk mempercepat digitalisasi administrasi dan memperkuat regulasi yang ada. Hal ini juga akan meningkatkan daya saing Indonesia dalam era ekonomi digital yang semakin kompetitif.

Akhirnya, pertanyaan tentang fungsi huruf “E” dalam dokumen elektronik bukan sekadar soal simbol atau label, melainkan cerminan dari sejauh mana transformasi digital benar-benar diimplementasikan dan dirasakan manfaatnya. Jika dokumen elektronik masih harus dicetak dan difotokopi, maka makna “elektronik” dalam konteks administrasi digital menjadi samar dan kehilangan esensinya.

Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara regulasi yang jelas, infrastruktur teknologi yang memadai, serta perubahan budaya kerja dan pola pikir agar dokumen elektronik dapat berfungsi secara optimal. Hanya dengan demikian, transformasi digital dalam administrasi dapat benar-benar mewujudkan efisiensi, transparansi, dan kemudahan akses yang dijanjikan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena dokumen elektronik yang masih memerlukan fotokopi fisik menunjukkan adanya tantangan besar dalam implementasi UU ITE dan transformasi digital di Indonesia. Melalui pendekatan hukum yang komprehensif, penguatan infrastruktur, dan edukasi yang masif, makna “E” dalam dokumen elektronik dapat kembali pada fungsi aslinya sebagai simbol kemajuan teknologi dan efisiensi administrasi di era digital.

Jadi, mari kita renungkan: Apakah huruf ‘E’ pada dokumen elektronik itu hanya gimmick marketing agar kita merasa modern, atau memang ada kekuatan hukum yang bisa membuatnya setara dengan selembar kertas yang difotokopi? Entahlah, mungkin hanya hakim yang bisa menjawabnya… itu pun kalau beliau tidak minta berkas fisiknya.

***

 

BAGIKAN:

Berita Terkait

1 dari 6

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *